PERKEMBANGANSISTEM POLITIK DI INDONESIA ERA ORDE LAMA-SEKARANG Jovanca Anjaranti Astitie 203503516037 Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik Kelas : PIP R.17 Dosen : Assc. Prof. Drs. Firdaus Syam, M.A., PhD. SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA 2020 fKATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kita panjatkan Sepanjangsejarah Indonesia ternyata telah terjadi tolak-tarik atau dinamika antara konfigurasi politik otoriter (nondemokratis). Demokrasi dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linier di setiap periode pada konfigurasi otoriter. Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum OrdeLama Soekarno: Kelahiran Indonesia. Soekarno (1901-1970), yang lahir di Surabaya pada masa pemerintahan kolonial Belanda, adalah pemimpin nasionalis dan pahlawan nasional yang mendedikasikan hidupnya kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun bertumbuh dalam lingkungan tradisional Jawa (dan dikombinasikan dengan pengaruh Bali dari Berikutini adalah Sistem Pemerintahan Indonesia Era Orde Lama saat Soekarno menjabat sebagai Presiden. Pada 12 Agustus 1945, Jepang segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia melalui Marsekal Terauchi dan menginginkannya pada 24 Agustus 1945. Soekarno, Moh. Hatta dan Radjiman Wediodiningrat kembali ke Tanah Air, Sultan Syahrir langsung Masaini diawali dengan dibentuknya kabinet baru yang bernama Kabinet Pembangunan dengan tugas Pancakrida, yang meliputi : 1) Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi. 2) Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama. 3) Pelaksanaan Pemilihan Umum. 4) Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 30 September. MasaOrde Lama (1951-1966) Keadaan ekonomi dan keuangan pada masa orde lama amat buruk, yang disebabkan oleh : Inflasi yang sangat tinggi dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Di tahun 1958 diberlakukannya UU No. 78/1958 tentang investasi asing, jadi memperburuk perekonomian, ditahun 1965 mendirikan Bank Bersamaankrisis tersebut, menyebar isu bahwa pemerintah Orde Baru melakukan praktik KKN besar-besaran. Lama kelamaan, karena krisis tidak juga mereda dan pemerintah dinilai tidak cakap dalam mengatasi situasi di dalam negeri, ditambah ada banyaj penyelewengang praktik pemerintahan Pak Harto, baik di bidang politik, hukum dan peradilan, maka A Latar Belakang Lahirnya Orde Baru. a. Krisis Politik.. Top 1: Faktor politik yang mendorong terjadinya krisis po - Roboguru. Pengarang: Peringkat 204 Ringkasan: Krisis politik pada masa orde baru mendorong munculnya reformasi dan tuntutan mahasiswa.Banyak yang menjadi penyebab munculnya krisis politik, di antaranya:Kenyataan bahwa MPR sebagai wakil rakyat TBA51j7. Pemberontakan PKI ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, - Konsep stabilitas politik yang diterapkan pada masa Orde Baru menimbulkan kebijakan dan peristiwa politik penting di Indonesia. Kebijakan stabilitas politik rezim Orde Baru yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto mendapat banyak perlawanan di kalangan masyarakat dan politisi. Berikut kondisi politik masa Orde Baru De-Soekarnoisasi De-Soekarnoisasi adalah istilah yang merujuk pada upaya untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh Soekarno dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 2005 karya Ricklefs, beragam ideologi Soekarno dinyatakan tidak lagi menjadi ideologi negara dan direduksi menjadi ideologi Pancasila saja. Pada Agustus 1967, Pemerintah Orde Baru juga menghapuskan lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan Soekarno. Baca juga Sistem Kepartaian masa Orde Baru Peristiwa Malari Peristiwa Malari Malapetaka Lima Belas Januari terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa Malari merupakan peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan investasi dan korporasi pemerintah Orde Baru. Demonstrasi tersebut berujung dengan kerusuhan sosial di Jakarta. Peristiwa Malari bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Indonesia. Dalam buku Indonesia Beyond Soeharto Negara, Ekonomi, Masyarakat dan Transisi 2001 karya Donald K Emerson, peristiwa Malari mengakibatkan pengrusakan produk mobil dan motor Jepang, bangunan, dan menelan korban jiwa. Petisi 50 Pada September 1976, Sawito Kartowibowo melakukan kritik terhadap praktik korupsi rezim Orde Baru dengan menulis sebuah dokumen berjudul ’Menuju Keselamatan”. Setelah itu, Sawito juga membuat dokumen petisi 50 yang berisi kritik tentang penggunaan ideologi Pancasila sebagai alat untuk membasmi lawan politiknya. Baca juga Program Ekonomi masa Orde Baru - Di pengujung 1950-an, Republik Indonesia kembali diguncang krisis keuangan. Pada awal dekade itu, krisis serupa juga pernah menyerang. Tapi kali ini, keguncangan finansial tampaknya lebih fatal. Presiden Sukarno beserta perangkat pemerintahannya pun memberlakukan kebijakan darurat agar perekonomian negara tidak pemotongan nilai mata uang hingga redenominasi penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai tukar diterapkan. Namun, kian rumit dan panasnya situasi politik membuat upaya perbaikan moneter menjadi kurang maksimal, ditambah lagi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September G30S 1965 yang akhirnya menumbangkan rezim Orde gagal mengulangi keberhasilan menjinakkan krisis ekonomi sebelumnya. Kala itu, strategi gunting uang yang diterapkan pemerintah membuahkan hasil gemilang. Tapi, kali ini tidak. Gara-Gara Ekonomi Terpimpin Pemerintahan Sukarno menerapkan sistem ekonomi terpimpin yang merupakan turunan dari sistem politik yang digunakan di Indonesia menjelang dekade 1960-an itu, yakni Demokrasi dalam buku Ekonomi Indonesia 2017 menjelaskan, sistem ekonomi terpimpin mendalilkan bahwa negara harus berperan untuk “memimpin” ekonomi nasional melalui dibentuknya jalur-jalur pengaturan dan komando yang tegas terhadap sektor-sektor utama. Dan, semuanya itu didasarkan pada satu rencana nasional yang komprehensif hlm. 95.Dengan kata lain, pemerintah pusat mengontrol penuh jalannya perekonomian negara. Semasa penerapan sistem ekonomi terpimpin, kata Mohammad Hatta, “Rakyat tidak lagi berekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin.” Sistem ekonomi terpimpin dianut negara-negara Blok Timur, macam Rusia atau Cina. Sukarno kala itu juga cenderung mendekat kepada Blok Timur ketimbang negara-negara Blok Barat yang liberal. Ia menolak mentah-mentah bantuan dari Amerika Serikat. Bahkan, atas perintah presiden, Indonesia menarik diri dari keanggotaan IMF dan Bank Salim melalui buku Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1966-1982 2005 suntingan Hadi Soesastro dan kawan-kawan menuliskan, sistem ekonomi terpimpin sangat bergantung kepada orientasi politik otoritas penguasa hlm. 67. Pembangunan tidak sepenuhnya berkembang karena uang negara lebih banyak ditujukan bukan untuk kepentingan ganyang Malaysia dan upaya perebutan Irian Barat yang digalakkan Bung Karno pada awal-awal dekade 1960-an mengakibatkan anggaran keuangan negara tersedot untuk kepentingan non-ekonomi itu, yang kemudian memantik guncang perekonomian negara. Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras potensi ekonomi Indonesia karena digunakan untuk membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Menurut data Bank Indonesia BI dalam “History of Monetary Period 1959-1966”, sepanjang periode 1960-1965, pertumbuhan Produk Domestik Bruto PBD sangat rendah. Laju inflasi teramat tinggi hingga mencapai 635 persen pada 1966. Investasi pun merosot Nekat Atasi Krisis Pemerintah segera melakukan kebijakan pengetatan moneter agar negara tidak semakin terbenam dalam krisis. Sanering atau pemotongan nilai mata uang mulai diterapkan terhitung sejak 25 Agustus 1959. Uang pecahan 500 dan rupiah diturunkan nilainya 10 persen, menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 oleh pemerintah disebut dengan istilah “penyehatan uang”—ditempuh untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari tulis Hariyono dalam Penerapan Status Bahaya di Indonesia Sejak Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru 2008, sanering dilakukan juga untuk mengurangi jumlah persediaan dan peredaran uang, dari 34 miliar rupiah menjadi 21 miliar rupiah hlm. 271.Namun, sebagian kalangan ternyata belum siap dengan kebijakan yang terbilang ekstrem ini. Disebutkan Anna Fauziah Diponegoro dalam Harta Bumi Indonesia 2007, banyak orang yang pingsan, bahkan meninggal mendadak karena syok, akibat penerapan sanering hlm. 110.Sanering juga menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis karena pemotongan nilai uang tidak diikuti dengan penurunan harga-harga barang. Artinya, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil lantaran yang dipotong adalah para spekulan dan profitur membuat keadaan semakin runyam. Sehari sebelum kebijakan diterapkan, mereka memborong aset-aset milik masyarakat yang belum paham soal sanering. Setelah sanering diterapkan, uang yang diterima sudah turun lainnya, pemerintah membekukan 90 persen giro dan deposito di bank di atas rupiah dan menukarnya dengan surat utang. Bersamaan dengan itu, dilakukan devaluasi dari 11,4 rupiah menjadi 45 rupiah per dolar AS. Boediono dalam bukunya menilai, ini langkah “tanggung” karena di pasar bebas waktu itu kurs sudah mencapai sekitar 150 rupiah per dolar AS hlm. 100. Beberapa kebijakan moneter penting pemerintah yang amat krusial itu ternyata sama sekali tidak melibatkan pihak Bank Indonesia BI. Merasa dilangkahi, Gubernur BI saat itu, Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Sukarno. Begitulah sistem ekonomi terpimpin. Pemerintah memegang penuh kendali perekonomian negara. Bahkan, terkesan ada tekanan cukup kuat untuk membatasi kewenangan BI sebagai bank sirkulasi dan penjaga stabilitas moneter. Upaya Gagal, Presiden Terjungkal Ternyata, sanering dan kebijakan moneter lainnya yang diterapkan pemerintahan Sukarno menjelang berakhirnya tahun 1959 itu tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Perekonomian masih limbung, laju inflasi kurang bisa dibendung, harga-harga barang pun kian lagi, memasuki dekade 1960-an, Presiden Sukarno gencar melakukan gebrakan yang justru semakin membuat situasi politik tidak menentu, yakni kampanye ganyang Malaysia dan pembebasan Irian Barat Papua. Keuangan negara pun kian guncang karena tersedot untuk membiayai misi-misi politik 1961, kondisi moneter nasional semakin parah. Terjadilah hiperinflasi yang ditandai dengan laju inflasi yang sangat tinggi, bisa di kisaran 100 persen atau bahkan data yang tertulis dalam The Indonesian Economy Facing a New Era? 1966 karya J. Panglaykim & Arndt, sejak 1961, tingkat persentase inflasi lebih tinggi daripada jumlah uang yang beredar. Tahun 1961, peredaran uang meningkat 41 persen, sementara laju inflasi 156 persen. Situasi ini semakin parah dari tahun ke tahun. Puncaknya terjadi pada 1965, tingkat edar uang naik hingga 161 persen dengan inflasi yang menembus angka 592 persen hlm. 60.Pemerintah bahkan mengalami defisit anggaran, dari 29,7 persen pada 1961, kemudian berturut-turut 38,7 persen 1962, 50,8 persen 1963, 58,4 persen 1964, hingga 63,4 persen 1965.Indonesia berada di titik nadir. Di tengah situasi ekonomi dan politik yang amat buruk, pemerintah akhirnya menerapkan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi nilai tukar. Pada 13 Desember 1965, diterbitkan pecahan uang baru 1 rupiah yang memiliki daya beli setara dengan dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang tersebut sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Tujuan redenominasi pada intinya adalah untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam tetap saja timbul kebingungan di masyarakat. Redenominasi juga punya kelemahan, apalagi jika diterapkan di negara luas seperti Indonesia dengan masyarakat yang memiliki tingkat pemahaman barang-barang menjadi simpang-siur karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah ihwal redenominasi. Adaptasi harga barang di daerah-daerah sangat lambat. Beredarnya dua jenis uang pada saat yang bersamaan, uang lama dan uang baru, memicu munculnya masalah bertambah pelik karena saat itu Indonesia sedang dilanda keguncangan setelah peristiwa G30S 1965. Kecemasan masyarakat atas gejolak politik dan situasi ekonomi yang kian memburuk menambah krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Gelombang demonstrasi pun dilakukan sejak awal keduakalinya dalam waktu kurang dari 7 tahun, rezim Orde Lama gagal mengatasi krisis. Kuatnya sentimen dan pertarungan kepentingan politik kian meluruhkan pengaruh Sukarno, hingga akhirnya sang presiden pun terjungkal dari takhtanya. - Ekonomi Penulis Iswara N RadityaEditor Ivan Aulia Ahsan